Kamis, 16 Juli 2009

Dilema Pemotongan Cicilan PPH 21 bagi Dokter Pegawai dan Bukan Pegawai.

Daniel Budi Wibowo *

Dengan dikeluarkannya Peraturan Dirjen Pajak Per-31/PJ/2009 tentang “PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN/ATAU PAJAK PENGHASILAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI”, maka terjadi perubahan aturan pemotongan oleh rumah sakit untuk cicilan PPH 21 atas jasa medis dokter dari 7,5% jasa medis bruto, menjadi pemotongan menggunakan azas progresif sesuai akumulasi jasa medis bulanan.
Di dalam Per-31/PJ/2009 pasal 9 angka 1 huruf “c”, juga dibedakan norma potongan untuk dokter dengan status pegawai tetap dan dokter bukan pegawai (dokter mitra). Untuk dokter mitra, dianggap penghasilan netto jasa medis sebesar 50 % dari jasa medis bruto, baru dikenakan pemotongan PPH 21 secara progresif. Sedangkan untuk dokter sebagai pegawai tetap, tidak diberlakukan norma netto 50 % dari jasa medis bruto sebagai dasar pemotongan PPH 21. Atau dengan kata lain pemotongan PPH 21 progresif dikenakan dari jasa medis netto (jasa bruto dikurangi potongan rumah sakit), ditambah gaji tetap bulanan dikurangi PTKP dan biaya jabatan. Akibatnya potongan PPH 21 jasa medis dokter bukan pegawai dan dokter yang berstatus pegawai tetap rumah sakit berbeda hampir dua kali lipat (tergantung besar potongan rumah sakit).
Untuk dokter yang bekerja sebagai pegawai negeri di rumah sakit pemerintah terjadi kerancuan, apakah jasa medis yang diterima termasuk subyek penghasilan yang PPH 21 nya ditanggung pemerintah seperti penghasilan gaji sebagai PNS, atau harus dipotong oleh rumah sakit. Bila rumah sakit harus memotong PPH 21 atas jasa medis netto dokter di rumah sakit pemerintah (umumnya lebih dari 50% jasa medis bruto), sedangkan dokter yang sama hanya dipotong PPH 21 atas 50% dari jasa medis bruto di rumah sakit swasta, dapat dibayangkan kemauan dokter untuk merawat pasien di rumah sakit di mana dia menjadi pegawai tetap. Demikian juga untuk dokter tetap di rumah sakit swasta yang menerima gaji tetap bulanan di luar jasa medis, akan lebih memilih berpraktek di luar instansinya.
Dilema yang terjadi adalah, pada saat pemerintah mendorong rumah sakit untuk memiliki dokter tetap untuk menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat, timbul peraturan yang membedakan dasar pemotongan PPH 21 atas jasa medis dokter sebagai pegawai dan bukan pegawai. Walau pun dokter sebagai pegawai tetap, tetap banyak biaya yang dikeluarkan dokter untuk menjaga dan meningkatkan kompetensinya serta biaya-biaya lain untuk praktiknya. Sehingga seyogyanya, diperhitungan jasa medis netto dokter baik sebagai pegawai tetap dan bukan pegawai tetap menggunakan norma 50%.
Kami berharap PERSI, IDI dan organisasi profesi yang lain dapat melakukan advokasi ke Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan untuk hal ini.


* Direktur Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum, Wakil Ketua Persi Jateng, Wakil Ketua IDI Jateng, Ketua BP. Pelkesi.